Ruang Putih

Ketika Istikamah Tak Selalu Baik

ilustrasi dari unsplash

Di suatu desa ada seorang Kiai langgar, ia sangat istikamah menjadi imam salat 5 waktu. Tidak pernah terlambat dan juga tidak pernah absen. Singkat cerita setelah Kiai tersebut wafat atau meninggal dunia langgarnya menjadi sepi dan bahkan tidak ada lagi yang beribadah di sana sebab tidak ada yang bisa menjadi imam. Dari cerita yang amat singkat ini membuktikan bahwasannya istikamah tidak selalu baik, pasalnya dalam beberapa kasus, kita tidak bisa memaknai tafsir secara kontekstual saja.

اِنَّ الَّذِيۡنَ قَالُوۡا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسۡتَقَامُوۡا تَتَنَزَّلُ عَلَيۡهِمُ الۡمَلٰٓٮِٕكَةُ اَلَّا تَخَافُوۡا وَلَا تَحۡزَنُوۡا وَاَبۡشِرُوۡا بِالۡجَـنَّةِ الَّتِىۡ كُنۡتُمۡ تُوۡعَدُوۡنَ

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang berkata,Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.” [QS. Fussilat 30]

Ulama sepakat bahwa makna istikamah di atas tidak berarti selalu berbuat kebaikan. Andaikan ulama sepakat bahwa syarat menjadi seorang muslim harus selalu benar, maka tidak ada orang islam yang masuk surga kecuali Nabi. Manusia adalah mahluk yang pasti memiliki potensi berbuat salah sebagaimana ungkapan Abu Hasan al-Harawi dalam kitab Mirqāt al-mafātih:

الْإِنْسَانُ مَحَلُّ الْخَطَأِ

Yang artinya adalah ‘Manusia itu tempatnya salah’. Sehati-hati apapun kita dalam melakukan sesuatu pasti akan berbuat salah, baik secara kita ketahui maupun tidak. Maka dari itu kita harus senantiasa membaca istighfar kepada Allah SWT paling sedikit 70 kali atau 100 kali dalam sehari sebagaimana riwayat dari Aisyah dan beberapa ulama Salaf:

 فإن قيل: أى الذكرين أعظم ثوابًا الذكر الذى هو بالقلب، أو الذكر الذى هو باللسان؟ قيل: قد اختلف السلف فى ذلك، فروى عن عائشة أنها قالت: لأن أذكر الله فى نفسى أحب إلىَّ أن أذكره بلسانى سبعين مرة. وقال آخرون: ذكر الله باللسان أفضل. روى عن أبى عبيدة بن عبد الله بن مسعود قال: ما دام قلب الرجل يذكر الله تعالى فهو فى صلاة، وإن كان فى السوق، وإن تحرك بذلك اللسان والشفتان فهو أعظم. 

“Apabila dikatakan dzikir yang manakah yang lebih besar pahalanya, apakah yang di hati saja ataukah yang dengan lisan?, dijawab: Ulama Salaf berbeda tentang hal itu. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa ia berkata: “Aku berdzikir kepada Allah dalam hati lebih aku sukai daripada Aku berzikir dengan lisanku 70 kali”.  Tokoh lain berkata: “Dzikir dengan lisan kepada Allah adalah lebih utama”. 

Diriwayatkan dari Abu Ubaidah bin Abdullah bin Masud ia berkata: “Selama hati seseorang berdzikir kepada Allah maka ia berada dalam doa meskipun ia di pasar. Apabila lisan dan kedua bibirnya bergerak mengucapkannya, maka itu lebih besar pahalanya.” (Ibnu Batthal, Syarh Shahih al-Bukhari, X, 430)

Maka dari itulah, beberapa hal yang tampak baik terkadang bisa saja buruk. Dan hal buruk bisa jadi baik. Namun hal tersebut harus di dasari dengan niat lillahita’ala dan benar. Contohnya saja begini; Anggap saja si Udin menyukai perempuan cantik dan berniat untuk menikahinya. Sedangkan di sisi lain ada seorang preman pasar yang juga naksir ke perempuan cantik tersebut serta juga ingin menikahinya.

Maka dari pada dinikahi oleh orang fasik atau tidak baik. Maka lebih baiknya Udin saja yang menikahi perempuan cantik tersebut agar kelak dapat menghasilkan keturunan yang saleh dan salehah. Daripada dinikahi si preman tersebut yang presentase menghasilkan keturunan tidak baik lebih besar.

Oleh: Hasby_Hafid saat ini sedang pusing karena dengung kata

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *